Tanah airku yang kucintai, apa sih yang membuat rakyatmu begitu rewel?
Bangsaku yang kubanggakan, apa sih yang membuatmu begitu nyinyir?
Wahai garuda yang gagah, apa sih yang membuat pengusungmu begitu hobi
menghujat?
sebelum masuk inti tulisan goyang dulu ah ~(^_^~)(~^_^)~
Tempat saya tinggal sekarang, sebuah negeri bersama Indonesia, adalah
tempat yang sangat menarik. Pulau-pulau banyak banget dikelilingi samudera dan
benua yang gede-gede, sebuah tempat di mana kota megapolitan bersemayam di
balik hutan tropis. Di sana bermukim ratusan juta orang dengan kepribadian yang
macem-macem.
Satu kota majunya minta ampun, belantara mall dilengkapi dengan akses
internet yang katanya super cepat dan super stabil. Satu desa tandusnya minta
ampun, tempat di mana sekolah reot menampung anak nelayan yang pulang melaut.
Ada kucing gemuk yang kekenyangan di rumah-rumah mewah, ada pula kucing kudisan
yang untuk makan ikan asin aja harus dikejar-kejar dulu oleh warga sekampung.
Di negara yang unik ini, terdapat pula sekelompok anak muda yang sedang
ditekan habis-habisan oleh derasnya arus informasi, sedang mengutuk kemiskinan
di balik layar BB-nya. Lewat layar televisi diperolehnya rasa empati, lewat
layar monitor dia belajar takjub dan menangis. Era ini era informasi, namun
lucunya si era informasi ini adalah, dia dapat memberitahu hal apapun di dunia
ini kecuali satu : keadaan diri Anda sendiri. Dengan kata lain, dia dapat
menyuapi Anda terus-terusan namun tidak dapat memberitahu kapan Anda harus
merasa kenyang.
Katakanlah Anda menggunakan internet terus-terusan selama 6 jam nonstop,
lantas tepat pada jam ke-enam lebih satu detik, semua layar browser Anda tertuju
ke halaman ini.
Sekali Anda masuk ke halaman ini, Anda tidak bisa meloloskan diri. Buka
browser yang satu lagi keluar halaman yang sama. Komputer direstart keluar
halaman yang sama. Install ulang windows, masih juga keluar halaman yang sama.
Bahkan kabur ke warnet pun keluar halaman yang sama. Satu-satunya cara keluar
dari halaman ini adalah menuruti tulisan yang tertera di halaman tersebut.
Juara kan!
Kenapa saya membayangkan hal di atas adalah karena alasan simpel :
pemuda-pemudi kita yang melek teknologi sudah masuk level obesitas dalam
menerima informasi! Jika saja seratus Mega Byte data yang anda gunakan setara
dengan satu kilogram, Anda mungkin sudah seberat sapi!
Lah emangnya kenapa gan? Bukannya informasi itu bagus ya? Makin banyak
tahu kan makin pinter itu kita jadinya.
Layaknya siklus metabolisme manusia, yang bagus itu adalah kalau ada
inputnya ada pula outputnya. Ente makan, ente beraktivitas lantas ente boker.
Kalau disuapin melulu tapi boker jarang, yang ada malah rusak itu sistem faal
tubuh. Kebanyakan orang saat ini gemar mencari tahu, memiliki keinginan yang
menggebu-gebu untuk tahu tapi setelah tahu kemudian bingung, itu tahu mau
diapain. Sebelum dapat ide itu tahu mau digunakan untuk apa, keburu muncul
berita-berita terbaru lainnya, ragam dunia dan ragam budaya mengalihkan
perhatian mereka.
Dan demikianlah, penduduk negara kita yang fenomenal ini, belajar
menghujat tanpa mau berkarya.
Sebagai contoh, satu kata sakti yang saat ini sedang ngetren adalah :
plagiat. Kata yang sesungguhnya, kurang lebih berarti : meniru habis-habisan
sampai mirip banget sama yang ditiru lantas ngomongnya ke orang lain "ini
karya asli gue loh~" kini jadi sangat bebas maknanya : mirip sedikit saja,
yes itu plagiat. Nah hal ini dipadukan dengan sapi-sapi informasi, alias orang
yang kebanyakan mengonsumsi informasi menjadi paduan yang mematikan.
Penyebabnya, orang yang kaya informasi ini sudah melihat sangat banyak
sekali hal, sehingga dia cenderung membanding-bandingkan informasi baru dengan
informasi lama yang telah diterimanya. Dengan pengertian kata
"plagiat" yang sangat longgar, besar kemungkinan setiap hal baru yang
dia saksikan adalah sebuah "plagiat" di matanya. Jika sudah begitu,
artinya ente sudah kekenyangan (informasi) itu, makanya ente menolak untuk disuapi
(informasi) lagi.
Jika "demam plagiat" ini dibiarkan saja, bukan tidak mungkin
hal konyol ini akan menjadi nyata :
November 2012. Di sebuah studio foto, Sartika hendak difoto (ya iyalah).
Mahagonta sang fotografer pun meminta Sartika untuk bergaya, "coba mbak
keluarin gayanya!". Sartika pun menempelkan kedua telapak tangannya ke
pipi sembari bibirnya monyong sedikit. Mahagonta protes, "mbak, wah itu
gayanya plagiat artis Korea mbak. ganti deh". Sartika dengan tampang heran
lantas ganti gaya, kali ini jarinya membentuk V-sign lantas ditaruh di atas
kepalanya, maksudnya biar mirip kelinci. Mahagonta protes lagi, "aduuh
mbak, itu gayanya plagiat idol Jepang banget, coba ganti lagi dah".
Sudah dua-puluh-tujuh pose dikeluarkan Sartika dan kesemuanya dimentahkan
oleh Mahagonta dengan alasan plagiat. Sartika kesal, banget malah. Sartika pun
kemudian salto sembari ngiler, matanya dijerengin, lidah dijulurin. Ckrap,
bunyi shutter kamera Mahagonta, "Nah ini Mbak, baru orisinil",
ucapnya kemudian. Sartika pun menggampar Mahagonta, kameranya diinjek-injek.
Satu lagi hal yang lucu adalah, kita bisa menuduh plagiat atau
plagiarisme dengan lantang, tapi diam membisu ketika ditanya : "terus ente
ada ide ngga, yang bagus dan orisinil?". Paling jatuh-jatuhnya ke batik lagi
batik lagi, tul ndak? Musik yang orisinil paling melayu lagi melayu lagi. Lah,
katanya ndak suka sama yang melayu melayu, terlalu ngampung gitu. Lantas maunya
apa dong gaaan.
Lagi lagi masalahnya di situ kan? Menghujat itu jauh, jauh, jauuuh lebih
gampang dari berkreasi. Apalagi di dunia maya, data diri bukanlah hal yang
wajib, seseorang bisa menyamar jadi siapa saja yang dia mau.
Otomatis,
berpendapat pun jadi jauh lebih bebas, karena dia tidak harus melindungi citra
dirinya sendiri. Lah kan freedom of speech, situ ga suka omongan saya ya
abaikan saja lah, toh saya bebas mau ngomong apa saja. Tidak salah kalau
jejaring informasi kemudian jadi rumah hantu; hoax, fitnah dan pendapat ngasal pun
bertebaran di mana-mana.