Jumat, 25 Mei 2012

Sangat Penting! Pelajaran Hidup di Era Informasi (Bagian 1)


Tanah airku yang kucintai, apa sih yang membuat rakyatmu begitu rewel?
Bangsaku yang kubanggakan, apa sih yang membuatmu begitu nyinyir?
Wahai garuda yang gagah, apa sih yang membuat pengusungmu begitu hobi menghujat?

sebelum masuk inti tulisan goyang dulu ah ~(^_^~)(~^_^)~

Tempat saya tinggal sekarang, sebuah negeri bersama Indonesia, adalah tempat yang sangat menarik. Pulau-pulau banyak banget dikelilingi samudera dan benua yang gede-gede, sebuah tempat di mana kota megapolitan bersemayam di balik hutan tropis. Di sana bermukim ratusan juta orang dengan kepribadian yang macem-macem.

Satu kota majunya minta ampun, belantara mall dilengkapi dengan akses internet yang katanya super cepat dan super stabil. Satu desa tandusnya minta ampun, tempat di mana sekolah reot menampung anak nelayan yang pulang melaut. Ada kucing gemuk yang kekenyangan di rumah-rumah mewah, ada pula kucing kudisan yang untuk makan ikan asin aja harus dikejar-kejar dulu oleh warga sekampung.

Di negara yang unik ini, terdapat pula sekelompok anak muda yang sedang ditekan habis-habisan oleh derasnya arus informasi, sedang mengutuk kemiskinan di balik layar BB-nya. Lewat layar televisi diperolehnya rasa empati, lewat layar monitor dia belajar takjub dan menangis. Era ini era informasi, namun lucunya si era informasi ini adalah, dia dapat memberitahu hal apapun di dunia ini kecuali satu : keadaan diri Anda sendiri. Dengan kata lain, dia dapat menyuapi Anda terus-terusan namun tidak dapat memberitahu kapan Anda harus merasa kenyang.

Katakanlah Anda menggunakan internet terus-terusan selama 6 jam nonstop, lantas tepat pada jam ke-enam lebih satu detik, semua layar browser Anda tertuju ke halaman ini.



Sekali Anda masuk ke halaman ini, Anda tidak bisa meloloskan diri. Buka browser yang satu lagi keluar halaman yang sama. Komputer direstart keluar halaman yang sama. Install ulang windows, masih juga keluar halaman yang sama. Bahkan kabur ke warnet pun keluar halaman yang sama. Satu-satunya cara keluar dari halaman ini adalah menuruti tulisan yang tertera di halaman tersebut. Juara kan!

Kenapa saya membayangkan hal di atas adalah karena alasan simpel : pemuda-pemudi kita yang melek teknologi sudah masuk level obesitas dalam menerima informasi! Jika saja seratus Mega Byte data yang anda gunakan setara dengan satu kilogram, Anda mungkin sudah seberat sapi!

Lah emangnya kenapa gan? Bukannya informasi itu bagus ya? Makin banyak tahu kan makin pinter itu kita jadinya.

Layaknya siklus metabolisme manusia, yang bagus itu adalah kalau ada inputnya ada pula outputnya. Ente makan, ente beraktivitas lantas ente boker. Kalau disuapin melulu tapi boker jarang, yang ada malah rusak itu sistem faal tubuh. Kebanyakan orang saat ini gemar mencari tahu, memiliki keinginan yang menggebu-gebu untuk tahu tapi setelah tahu kemudian bingung, itu tahu mau diapain. Sebelum dapat ide itu tahu mau digunakan untuk apa, keburu muncul berita-berita terbaru lainnya, ragam dunia dan ragam budaya mengalihkan perhatian mereka.

Dan demikianlah, penduduk negara kita yang fenomenal ini, belajar menghujat tanpa mau berkarya.
Sebagai contoh, satu kata sakti yang saat ini sedang ngetren adalah : plagiat. Kata yang sesungguhnya, kurang lebih berarti : meniru habis-habisan sampai mirip banget sama yang ditiru lantas ngomongnya ke orang lain "ini karya asli gue loh~" kini jadi sangat bebas maknanya : mirip sedikit saja, yes itu plagiat. Nah hal ini dipadukan dengan sapi-sapi informasi, alias orang yang kebanyakan mengonsumsi informasi menjadi paduan yang mematikan.

Penyebabnya, orang yang kaya informasi ini sudah melihat sangat banyak sekali hal, sehingga dia cenderung membanding-bandingkan informasi baru dengan informasi lama yang telah diterimanya. Dengan pengertian kata "plagiat" yang sangat longgar, besar kemungkinan setiap hal baru yang dia saksikan adalah sebuah "plagiat" di matanya. Jika sudah begitu, artinya ente sudah kekenyangan (informasi) itu, makanya ente menolak untuk disuapi (informasi) lagi.

Jika "demam plagiat" ini dibiarkan saja, bukan tidak mungkin hal konyol ini akan menjadi nyata :

November 2012. Di sebuah studio foto, Sartika hendak difoto (ya iyalah). Mahagonta sang fotografer pun meminta Sartika untuk bergaya, "coba mbak keluarin gayanya!". Sartika pun menempelkan kedua telapak tangannya ke pipi sembari bibirnya monyong sedikit. Mahagonta protes, "mbak, wah itu gayanya plagiat artis Korea mbak. ganti deh". Sartika dengan tampang heran lantas ganti gaya, kali ini jarinya membentuk V-sign lantas ditaruh di atas kepalanya, maksudnya biar mirip kelinci. Mahagonta protes lagi, "aduuh mbak, itu gayanya plagiat idol Jepang banget, coba ganti lagi dah".


Sudah dua-puluh-tujuh pose dikeluarkan Sartika dan kesemuanya dimentahkan oleh Mahagonta dengan alasan plagiat. Sartika kesal, banget malah. Sartika pun kemudian salto sembari ngiler, matanya dijerengin, lidah dijulurin. Ckrap, bunyi shutter kamera Mahagonta, "Nah ini Mbak, baru orisinil", ucapnya kemudian. Sartika pun menggampar Mahagonta, kameranya diinjek-injek.




pic taken from here

Satu lagi hal yang lucu adalah, kita bisa menuduh plagiat atau plagiarisme dengan lantang, tapi diam membisu ketika ditanya : "terus ente ada ide ngga, yang bagus dan orisinil?". Paling jatuh-jatuhnya ke batik lagi batik lagi, tul ndak? Musik yang orisinil paling melayu lagi melayu lagi. Lah, katanya ndak suka sama yang melayu melayu, terlalu ngampung gitu. Lantas maunya apa dong gaaan.

Lagi lagi masalahnya di situ kan? Menghujat itu jauh, jauh, jauuuh lebih gampang dari berkreasi. Apalagi di dunia maya, data diri bukanlah hal yang wajib, seseorang bisa menyamar jadi siapa saja yang dia mau.

Otomatis, berpendapat pun jadi jauh lebih bebas, karena dia tidak harus melindungi citra dirinya sendiri. Lah kan freedom of speech, situ ga suka omongan saya ya abaikan saja lah, toh saya bebas mau ngomong apa saja. Tidak salah kalau jejaring informasi kemudian jadi rumah hantu; hoax, fitnah dan pendapat ngasal pun bertebaran di mana-mana.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar